Senin, 12 Januari 2009

Bioplastik Bukan Material Baru : Mengapa di Indonesia belum diproduksi secara masal?

by saeful@sentrapolimer.com

Pengantar
Bioplastik atau plastik dapat terdegradasi secara alamiah adalah plastik atau polimer yang secara alamiah dapat dengan mudah terdegradasi baik melalui serangan mikroorganisme maupun oleh cuasa (kelembaban dan radiasi sinar matahari). Sedangkan plastik sintesis terbuat dari hidrokarbon minyak bumi yang sulit diuraikan di alam. Menurut Suryati dari LIPI pada tahun 1994 menyatakan bahwa faktor utama polimer yang dapat terdegradasi secara alamiah adalah polimer alam yang mengandung gugus hidroksil (-OH) dan gugus karboksil (=CO) dan proses degradasi terutama dikaenakan serangan mikroorganisme. Proses degadasi dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. di bawah ini.
Bioplastik atau disebut juga sebagai plastik dapat terurai, secara global sudah dikenal dan telah dikembangkan sejak puluhan tahun yang lalu, demikian pula di Indonesia sudah dua puluh tahunan penelitian telah dilakukan dan dikembangkan. Namun demikian di Indonesia masih sangat sulit ditemukan propduk berbahan baku material bioplastik. Mengapa hal ini bisa terjadi?. Tentu saja bukan berarti ilmuan Indonesia tidak mampu membuat atau memproduksi bioplastik, namun permasalahan yang utama ada pada “market” dan “kebijakan pemerintah’. Hal ini sangat berkaitan sejauh mana kebijakan pemerintah dalam melindungi keselamatan lingkungan di Indoneisa. Pemerintah tidak mampu berintrospeksi atas kerusakan lingkungan yang disesbabkan oleh sampah pengemas dan produk plastik lainnya, yang salah satu diantaranya dapat menyebabkan banjir, demikian pula polusi udara yang disebabkan oleh pembakaran sampah plastik. Memang hingga saat ini biaya produksi material bioplastik masih lebih tinggi dibanding biaya produksi material plastik minyak bumi. Namun demikian jika pemerintah bijak dan serius dalam melindungi kelestarian alam, maka pemeintah dengan “power kebijakannya” seharusnya mampu menerapkan pemakaian produk bioplastik di masyarakat dengan kebijakannya tersebut dan sedikit menganggarkan dana untuk reward bagi produser bioplastik nasional, misalnya bentuk subsidi.

Publikasi Penelitian Bioplastik

Pada tahun 1974 Giffin telah mempublikasikan kesuksesannya dalam membentuk film bioplastik dari hasil reaksi cangkok polietilena dengan karbohidrat pati. Perkembangannya sangat pesat sehingga kini produk bioplastiknya tersebar ke berbagai negara. Oney pada tahun 1977 telah mempublikasikan hasil penelitian material bioplastiknya melalui reaksi cangkok antaa etilena dengan asam akrilat dan berhasil dapat terdegradasi secara alamiah. Gaylord pada tahun 1981 telah berhasil mencangkokkan maleat anhidrida (MAH) dalam polietilena tanpa penambahan pelarut.
Para peneliti Indonesiapun tidak ketinggalan dalam penelitian produksi bioplastik seperti yang dipublikasikan Haryudi dan kawan-kawan dari Universitas Gajah Mada yang menggunakan teknik asetilasi dari susu dan tapioka, peneliti lainnya Subowo dan kawan-kawannya pada tahun 1994 dari LIPI telah berhasil membentuk bioplastik dari pencangkokkan pati pada LDPE, demikian juga Yusiadi dan kawan-kawannya dai LIPI pada tahun tahun yang sama mempublikasikan hasil penelitiannya dalam pembentukan bioplastik hasil blending dari LDPE dengan poliuretan dengan plasticizer gliserin. Pada tahun 1995 melalui Simposium Polimer pertama, Retno dan kawan-kawan dari LIPI juga mempublikasikan bahwa mereka telah berhasil membuat material bioplastik dari PE yang dicangkok dngan pati dengan coupling agent asam maleat anhidrida (MAH). Pada even yang sama, Lies A W dan Jayatin dari BPPT juga mempublikasikan hasil penelitiannya berupa material bioplastik hasil pencangkokan dari polimer PMMA dengan tepung pati, jagung dan sagu.
Penelitian bioplastik lainnya yaitu jenis edible (pengemas dapat dimakan). Dalam hal edible plastik Natalie G. dari ENSIA-SIARC, Francis menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan produk bioplastik sudah lama dilakukan dan dikembangkan dalam berbagai keperluan pengemas yang bisa dimakan langsung, biasanya untuk pembungkus kue dan permen. Bioplastik edible juga memiliki sifat penampilan yang menarik dan dapat menahan (barier) dari gas dan uap air. Pembuatannya bisa dari gula, protein terutama yang berasal dari gandum, yang paling dikenal sekarang ini dibuat dari agar dan gelatin.
Beberapa peneliti Indonesia Suharwaji Sentana dai LIPI, Susilowati V. P. dari ITB telah mengembangkan biopolimer edible, penelitiannya diutamakan pada bahan baku PLA dengan mengatur besar molekulnya yang sesuai dengan kebutuhan penggunaan (market). Berat molekul ideal dari PLA untuk bioplastik adalah antara 2500 hingga 4000. Untuk menekan harga PLA, maka para peneliti Indonesia mengembangkannya dari fermentasi tapioka dan bahkan bisa pula dari limbah (sisa) tapioka.

Proses biodegadasi

Proses degadasi secara kimia lingkungan terbagi atas 2 lingkungan degradasi, yaitu lingkungan biotik dan abiotik.
Degradasi dalam lingkungan biotik umumnya terjadi karena serangan mikroba seperti bakteri, kapang, ganggang dan lainnya, sedangkan proses degradasi pada lingkungan abiotik meliputi degradasi karena sinar UV, panas, hidrolisis, oksidasi dan lainnya.

Poses yang berkemungkinan pada degradasi bioplastik Aerobik:

Cbioplastik + O2 CO2 +H2O + Cresidu + Biomasa

Poses yang berkemungkinan pada degradasi bioplastik Anaerobik

Cbioplastik CH4 +H2O + Cresidu + Biomasa

Proses pembentukan dan degradasi bioplastik merupakan satu siklus yang berkesinambungan yang dapat diperbahaui (reneweble), seperti terlihat pada Gambar 2. di bawah Ini,

Gambar 2. Proses pembentukan dan degradasi bioplastik

Sumber Daya Bioplastik

Bahan baku bioplastik melimpah ruah dimanapun dan dapat diperbaharui melalui perkebunan/pertanian. Bahan bioplastik yang pertama kali dibuat adalah dari tepung jagung berkembang pada tepung pati, gula dan sekarang banyak digunakan bentuk PLA. Poly(lacatate acid), PLA merupakan poliester alifatik yang dibentuk dari asam laktat yang diperoleh dari hasil fermentasi karbohidrat. Pada umumnya atau selama beberapa tahun yang lalu deapat dengan mudah PLA ini diperoleh dari proses hidrolisa tepung jagung, namun karena harganya cukup mahal, maka sekarang ini banyak diusahakan dari tepung tapioka (starch)
Sifat fisik yang baik dari PLA diantanya adalah titik lelehnya cukup tinggi, yaitu 180oC, transparan dan yang utama adalah dapat terdegradasi alamiah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sifat mekanik dari PLA dapat ditentukan melalui besar molekul yang dibentuknya, sebagai contoh untuk pemakaian pengemas yang tahan lama maka diperlukan PLA dengan berta molekul tinggi, sedangkan untuk PLA yang dapat dicerna langsung dalam tubuh seperti untuk kapsul obat maka diperlukan PLA dengan berat molekul yang sangat rendah. Namun pada umumnya jenis PLA ini banyak digunakan sebagai bioplastik untuk pengemas.
Selain PLA material bioplastik ini adalah PHA (Poli-3-Hidroksialkanoat). PHA dibuat dari substrat hidrolisa pati dengan bantuan kerja mikroorganisme Ralstonia Eutropa. PHA juga bisa dihasilkan dai hidrolisat minyak sawit dengan bantuan mikroorganisme yang sama dengan di atas. Bebeapa manfaat dari bioplastik Pha ini antara lain sebagai bagan pengemas makanan dan minuman, juga digunakan dalam kesehatan sebagai implan, kain kasa, filamen jahitan dan lainnya.
Suatu kemajuan teknologi bioplastik telah dengan sukses diluncurkan oleh perusahaan kendaraan Jepang TOYOTA. Toyota’s Bio-Plastic Project Departement berhasil mengembangkan material bioplastik dari tanaman tebu sebagai substitusi komponen kendaraan mewah, dimana bioplastik dari tebu ini digunakan untuk bagian bumper, spare wheel cover, karpet dalam, panel dan lainnya. Mobil pertama yang diluncurkannya adalah tipe Raum pada tahun 2003 dan generasi kedua adalah tipe Prius pada tahun 2005.
Bahan biopolymer lainnya yang sudah lama digunakan diantaranya jenis pengemas yang dapat dimakan (edible), jenis ini biasanya didominasi oleh gula, protein, gandum, agar, gelatin dan bahkan PLA juga. Para peneliti Indonesiapun telah ahli dalam pembuatan bioplastik edible dan akhir-akhir ini telah dapat disintesa dari tepung tapioka melalui proses hidrolisa dengan asam asetat, untuk sifat plastis bisa ditambahkan dengan gliserol.

Beberapa Standar Pengujian Bioplastik

Standar pengujian biopolymer bervariasi yang disesuaikan dengan lingkungan pemekaian dari material biopolimernya sendiri dan negara pengguna, baik dengan tipe ISO, CEN DIN, JIS, ASTM dan masih banyak yang lainnya.
Standar pengujian biodegradasi bioplastik oleh mikroba, kapang, ganggang mikroorganisme lainnya didasarkan pada ASTM D883-00 dan ASTM D5338.
Sedangkan pengujian biopolymer untuk degradasi an aerobic menggunakan standar uji ASTM D5210. dan ASTM D5226.
Di Uni Eropa, pemilihan standar pengujian degradasi biopolimer yang utama adalah EN 13432, Standar ini meliputi aturan yang diantaranya:
Seluruh material bioplastik harus memiliki sertifikat serta dalam bentuk produknya harus diberi tanda bioplastik.
Dapat terurai (minimal 90% dapat lolos pada sieve analysis ukuran lubang 2mm setelah 12 minggu dikomposting.).
Harus terdegradasi (paling tidak 90% terdegradasi membentuk CO2 setelah 6 bulan).
Residu tidak beracun (atau sangat rendah tingkat acunnya).

Dalam hal standar pengujian biomaterial, Australia memiliki standar pengujian tersendiri untuk material bioplastik ini, yaitu standar uji AS 14852-2005 dan AS 14855-2005, yaitu untuk degradasi pada kondisi aerobic dan anaerobic

Penandaan Produk dengan Bahan Baku Bioplastik

Beberapa negara memiliki perbedaan penandaan material bioplastik, dan biasanya diikuti dengan tipe standar uji degradasinya. Beberapa contoh tanda material bioplastik dan metode uji degradasinya, yang terkadang juga disebutkan nama negaranya dapat dilihat pada Gambar 3. di bawah ini::

Contoh Produk berbahan baku Bioplastik
Produser bioplastik Internasional.

Di Eropa bioplastik PLA sudah mulai dapat menggantikan plastik PET. Beberapa produser perabotan berbahan baku bioplastik di Eropa diantaranya Protech 7, dan Grenidea. Protech 7 banyak memproduksi perlengkapan bioplastik berbahan baku PLA sedangkan Granidea telah mampu memproduksi bahan baku serak minyak goreng.
Bahan baku bioplastik terbesar masih diproduksi oleh industri penghasil resin terbesar di dunia seperti BASF di Jerman, Cargill Dow Amerika, Novamont di Italia, Rodenburg Biopolymer di Belanda, Dupont serta Eastmen. Perusahaan-perusahaan besar tersebut merupakan pemasok resin biopolimer di Eropa yang mencapai 90 % market di sana.

Penutup

Penelitian dan pengembangan material biopolymer sudah berjalan berpuluh-puluh tahun. Di luar negeri, terutama di Eropa pemekaian material bioplastik sudah biasa dan untuk produk tertentu di daerah tertentu sudah diwajibkan untuk digunakan, sebagai contoh tas/kantong belanja dari swalayan. Bahkan untuk Negara yang sangat maju seperti Jerman pemakaian bioplastik sudah merambah ke berbagai perabotan rumah tangga, mainan anak sampai komponen kendaraan dan elektronika selain sebagai pengemas.
Di Indonesia hingga kini sulit sekali ditemukan produk berbahan baku bioplastik selain edible, padahal pemerintah sejak PELITA VI telah memperiritaskan program untuk memproduksi bahan baku biopolymer melalui perkebunan dan pertanian. Namun demikian program yang sudah canangkan lebih dari dua decade ini masih belum terealisasikan hingga sekarang ini. Untuk itu maka diperlukan keseriusan pemerintah dalam program pemakaian bioplastik demi menjaga kelestarian lingkungan selain untuk menghemat minyak bumi yang semakin tipis persediaannya. Masyarakat Indonesia juga harus menyadari akan pentingnya pemakaian bioplastik sebagai suatu alternatif yang dapat memecahkan sebagaian persoalan lingkungan. (Saeful Rohman)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

buy renova in canada
[url=http://www.jnf.nl/swf/log/1/advair-side-effects-headache.html]advair side effects headache[/url]
levaquin 500 mg 5 days
claritin side effects nose bleed
what is zithromax 250mg used for
http://www.jnf.nl/swf/log/31/abilify-30mg.html